Perjuangan
pemuda di Pemalang pada masa Revolusi
Sosial 1945 menjadi suatu topik yang masih asing bagi masyarakat Pemalang
pada umumnya terutama pada kalangan pelajar. Pemalang merupakan daerah yang
memiliki riwayat sejarah panjang sejak awal pendirianya (1575) hingga masa
kini. Perisitiwa sejarah menjadi hal yang sangat penting sebagai pembentukkan
karakter suatu daerah, karena sejarah memberikan gambaran kehidupan masa lalu
yang dapat dicerna dan diteladani sebagai modal pembangunan daerah. Pembangunan
tidak selalu identik dengan ‘wujud’ bangunan fisik. Pembangunan dapat dimaknai
dengan adanya upaya untuk membenahi dan meningkatkan mutu SDM secara kolektif
sebagai langkah awal untuk merealisasikan suatu pembangunan yang optimal. Tanpa
adanya suatu bekal ‘pengetahuan’ pembangunan (secara fisik) akan terasa hambar
dan rancu. Pemuda sebagai motor pembanguna sudah sepatutnya mempelajari
gerakkan pemuda di Pemalang pada masa lampau melalui studi sejarah kritis.
Revolusi Sosial pada akhir tahun 1945 menjadi peristiwa yang layak untuk dikaji
dan diteladani oleh masyarakat Pemalang.
Revolusi
Sosial atau Peristiwa Tiga Daerah merupakan peristiwa di mana seluruh elite
birokrat, pangreh praja dan sebagian kepala desa (dianggap pro-asing) didaulat
dan diganti oleh aparat pemerintahan baru yang terdiri dari golongan masyarakat
setempat. Revolusi Sosial terjadi pada bulan Oktober-Desember 1945 di daerah
Tegal, Pemalang dan Brebes. Pemalang menjadi daerah yang terlibat dalam
peristiwa tersebut karena masyarakat (Komunis, Nasionalis, Islamis) pada masa
itu merasa perlu adanya perubahan yang mendasar pada pemimpin-pemimpin
pemerintahan. Golongan pemuda pada masa itu menjadi penggerak utama untuk
melakukan perubahan yang sesuai dengan kehendak masyarakat. Pemuda tersebut
terdiri dari berbaggai kalangan yang kemudian tersebar dalam beberaa
organisasi. Organisasi pemuda di Pemalang pada masa itu diantaranya adalah
Gerakan Pemuda Arab Indonesia (GPAI), Hizbullah, Angkatan Pemuda Indonesia
(API), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Angkatan Muda Republik Indonesia
(AMRI), Laskar Pemuda Tionghoa (LPT) dan
para pemuda yang terdiri dari golongan santri, nasionalis, komunis dan
lenggaong.
Gerakkan
yang dilakukan oleh para pemuda di Pemalang tidak semata-mata berjalan dengan
sendirinya. Pergerakkan pemuda tersebut sudah dibekali oleh pengetahuan dan intelektualitas
yang didapatkan ketika melakukan kegiatan berorganisasi. Faktor agama juga
mempengaruhi semangat pemuda yang terdiri dari golongan santri. Semangat untuk
melakukan perubahan (pembangunan) tidak hanya membutuhkan ‘gerakkan’ tetapi
juga membutuhkan modal yang berupa ilmu pengetahuan sebagai wadah untuk
menentukan arah dan sebagai dasar dilakukannya suatu pergerakkan yang kentara.
Dikotomi antara golongan muda Pemalang dengan oknum pemerintah yang masih
menjabat menjadi gambaran salah satu ‘karakter’ Pemuda Pemalang yang tangguh
dan berani dalam melakukan tindakan. Motto ‘IKHLAS’ yang sering digaungkan
sekarang bukan hanya dimaknai secara harfiah, namun juga harus dimaknai sesuai
Lembaran Daerah Dati II Pemalang Nomor 6 tanggal 9 Maret 1991.
Pemalang sebagai daerah yang memiliki sejarah
panjang sudah tentu memiliki karakteristik tersendiri yang harus terus diteladani
oleh generasi penerus. Pemuda sebagai motor pembangunan daerah (Pemalang)
ditentukan oleh modal atau bekal (pengetahuan) yang didapatkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Melalui adanya pengenalan peristiwa sejarah Pemalang
dapat dikatakan mampu memberikan modal dan menanamkan karakter positif yang
didapat dengan meneladani sikap-sikap pahlawan lokal yang sesuai dengan
kepribadian lokal (Pemalang). Suatu pembangunan harus dimulai dengan mengenal
daerah yang akan dibangun sebagai paradigma mendasar.
Referensi:
Lucas
Anton, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi
dalam Revolusi, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989).
Panitia
Peringatan Hari Jadi Ke-439 Kabupaten Pemalang Tahun 2014, Riwayat/Sejarah Pemalang, (Pemalang: Pemkab Pemalang, 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar